Bicara tentang Bid'ah
by Ngahmeen Mahdang
MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG BID’AH MENURUT PARA
AS-SALAFUS SHALIH
A.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam
pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ
عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ .( فتح الباري لابن حجر [6 /292])
“Sesuatu
yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. ( Fath al-Bari 6/292)
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani
dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ
بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ
إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ،
وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ:
(بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ.
وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ
وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل)
الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ،
وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa
mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak
Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa
bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku
bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis
sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl),
artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk
al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya:
“Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u
digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna
Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS.
al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya
adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah
didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku
bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan
dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam
pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ
الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu
yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam
al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, 1/278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn
al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ
البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ
مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ،
وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak
pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau
dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara
baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru
yang mengajak kepada kesesatan”.
B. Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah
terbagi menjadi dua bagian:
Pertama:
Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah.
Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua:
Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu
perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Al-Imam
asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ
مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ
كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ بِدْعَةُ
الضَّلاَلـَةِ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ
لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ
البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ(
“Perkara-perkara
baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan
sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam
ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini
tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam
kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, 1/469).
Dalam
riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ
السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada
dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah
bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari
20/330)
Pembagian
bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya
dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para
ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama
terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah,
al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di
antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih
as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli
bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan
demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah
(bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian
bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia
berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ
ومسلم
“Barang
siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim :
3242 [9/118])
Dapat
dipahami dari sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Ma Laisa Minhu”,
artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah
yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan
dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah
dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam
pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu
bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam
pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah
yang menyalahi akidah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para
sahabatnya.
C.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits
al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam
kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara
dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut
(Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman
Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا
فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ
(الحديد: 27
“Dan Kami
(Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa
santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami
tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini
adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat
Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin
berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah
yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan
penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek
Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka
meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat
di atas Allah mengatakan “مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ”, artinya: “Kami (Allah)
tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri
yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada
Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru
yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama
sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan
mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan
berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri
dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah
kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh
dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits
sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ
فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ
الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه
مسلم
“Barang
siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka
baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya
dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.
(HR. Muslim: 1691 [5/198])
Dalam hadits
ini dengan sangat jelas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan:
“Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh
dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang
ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk
berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits
tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim
ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah
merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang
teguh dengannya.
3. Hadits
‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ
ومسلم
“Barang
siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim : 3242
[9/118])
Hadits ini
dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena
seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam
agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis
hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang
bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama,
yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan
dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang
sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’,
perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan
diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam
sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari : 1871 [7/135] dalam kitab
Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas
mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat
berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah.
Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan:
“نِعْمَ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih
dengan berjama’ah.
5. Kemudian
dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : 2029-
2030[6/121] disebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ini menambah
kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tambahan Abdullah bin Umar dalam
talbiyah adalah:
لَبَّيْكَ
اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ
إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
6. Dalam
hadits riwayat Abu Dawud : 826 [3/156] disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn
al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud
yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dalam
Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang
kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:
“زِدْتُ
فِيهَا وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ...”, artinya: “Saya sendiri yang
menambahkannya dengan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
7. ‘Abdullah
ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini
beliau berkata:
إِنَّهَا
مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور
بإسناد صحيح(
“Sesungguhnya
shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik
dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam
riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ
وَنِعْمَتِ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة(
“Shalat
Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi
Syaibah: [2/296] dan Ath Thabrani : 13387 dalam al-Mu’jam al-Kabir 11/54)
Riwayat-riwayat
ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari [4/173] dengan sanad
yang shahih.
8. Dalam
sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari: 757 [3/277] meriwayatkan dari sahabat
Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami
shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ketika
beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima
Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا
وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah
selesai shalat, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Siapakah tadi
yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya
Wahai Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam...”. Lalu Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam berkata:
رَأَيْتُ
بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Aku melihat
lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama
mencatatnya”.
Al-Hafizh
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak
ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari 2/
287).
D. Beberapa
Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini
beberapa contoh Bid’ah Hasanah, di antaranya :
1. Shalat
Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah
Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ
خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ
“Khubaib
adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR.
al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah : 133 [8/340] dalam kitab
al-Mushannaf)
Lihatlah,
bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna
“merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna
“sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga
bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah
seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya
tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا
خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at
shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin
Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan
oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab
1/ 358)
2.
Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan.
(HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan
titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah
salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan
bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli
hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam
beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis
wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada
huruf-hurufnya.
Demikian
pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan
mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf
tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian
huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya
bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik
dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai
bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah
melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan
mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa
‘Utsman.
Abu Bakar
ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya
al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam
Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama
tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan
lainnya.
Demikian
pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian
lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga
penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam
setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam
ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan
Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat
Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di
Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh
kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa
berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh
masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5.
Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh
al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn
Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh
as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W
676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh
Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh
Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca
shalawat atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah adzan adalah bid’ah
hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah
al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab
al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.
7. Menulis
kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan
para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat
semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam hanya
menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa
Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti
tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang
kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini
adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada
yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas
menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini
beberapa contoh Bid’ah Sayyi’ah, di antaranya sebagai berikut:
1.
Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya
seperti:
a. Bid’ah
Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang
mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun
dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut
keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari
mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah
hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah
hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang
mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara
dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari
syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum
Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad
al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih
Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
b. Bid’ah
Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah
pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur
(dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika
melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu
atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah
kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
c. Bid’ah
kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa
besar.
d. Bid’ah
sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para
nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh
tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para
nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul
ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah
sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H),
yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya
yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2.
Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم)
sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi
“SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits
bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian
mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah
adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari
kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.
E. Kerancuan
Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan
yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat
al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود
Ini artinya
bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan
hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah
sesat .
Jawab:
Hadits ini
lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu
setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam
an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya,
lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud
adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu
sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian
al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika
telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits
ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya
dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh
perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia
(Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam
penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas
memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin
lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini,
dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ
كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25
Makna ayat
ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan
kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa
angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti
hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan
kata “Kull”.
Adapun
dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu
Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam
dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan
yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi
al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah
khusus berlaku ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup. Adapun
setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal maka hal tersebut
menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam
kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ
الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan
-terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan
adanya dalil”.
Kita katakan
kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru
sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman,
karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak mengatakan “Man Sanna Fi
Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di
masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa
Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia
menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan
secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita
tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam saja”.
Kita katakan
pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku
lagi setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal?! Berani sekali
kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam?!
Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti
hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak
berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan
didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
3. Kalangan
yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim:
“Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa
beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang
dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui
lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta
masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta
itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu
mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum
keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah
Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang
dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu
nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan
demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku
umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits
tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak
akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah
hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan
sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri?!
4. Sebagian
kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu
Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan
Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh
hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah
penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak
sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan
kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi
al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ
الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ
وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا
الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ
الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam
hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis
perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari
perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat
pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu
Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah
perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi
mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ
"سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا،
وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ
الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah
jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan
sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau
tidak”.
Al-Hafizh
Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ
أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ
فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ
الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara
mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah
bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam
syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam
syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan
demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan
mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka
memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga
yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan
semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di
dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan
ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru,
apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para
ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk
kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang
menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan
yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah
bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini
sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah,
bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati
syirik”.
Jawab:
Subhanallah
al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih,
membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar
ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka
al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan
shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah
hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang
menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an
yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?!
Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja,
bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik
dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam
shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia
tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian
dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah
secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang
notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna
syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn
al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu
kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah
hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam
agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah
mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani
mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits
“Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan
kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar
ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah
benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja
orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang
Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada
beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya
akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa
Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang
kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan
“Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman
ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam:
مَنْ
ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ
مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه
الترمذيّ
“Barangsiapa
merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi : 2601 [9/288])
Inilah
pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah
al-Anbiya’.
6. Kalangan
yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru
tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan
para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru
tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam
melakukannya”.
Jawab:
Baik,
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melakukannya, apakah beliau
melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab:
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga telah bersabda: “Man Sanna Fi
al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka
berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan
oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah yang diharamkan? Kita
jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita
katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah
(boleh) atau sunnah setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri yang
langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa
kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?!
Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah
mengatakan:
التَّرْكُ
لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Sesuatu
yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah ShallaLlahu 'Alaihi Wa Sallam tidak
berarti menunjukkan sesuatu itu dilarang”.
Artinya,
ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau para sahabatnya tidak
melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu
yang haram.
Sudah
maklum, bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berasal dari bangsa
manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan
melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja
tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam disibukkan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang
kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan
hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik
zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan
dengan sengaja Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang meninggalkan
beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja
beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan
memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut.
Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena
perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
F.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para
sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, para tabi'in, para ulama Salaf
dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua
bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan
ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian
banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran
buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan
demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian
ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat
Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia
sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?!
Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas
kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah
menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat
Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para
Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?!
Wallahu A'lam Bish Shawab
·